FEMINISME
DALAM NOVEL PECUN MAHAKAM
KARYA YATIE ASFAN LUBIS
SKRIPSI
Diajukan kepada
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
IKIP PGRI
Semarang untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
Guna Memperoleh
Derajad Sarjana Pendidikan
TEGUH KHOIRUR ROZIEQ
NPM 06410634
FAKULTAS
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
IKIP PGRI SEMARANG
2010
SKRIPSI
FEMINISME
DALAM NOVEL PECUN MAHAKAM
KARYA
YATIE ASFAN LUBIS
disusun dan diajukan oleh
Teguh Khoirur Rozieq
NPM 06410634
telah disetujui oleh pembimbing
untuk diujikan
di hadapan Dewan Penguji
pada tanggal 27 Juli 2010
Pembimbing I,
Dra.
Asropah, M.Pd
NPP 936601104
|
Pembimbing II,
Drs. Hardjito, M.Hum
NPP 936501103
|
FAKULTAS
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP
PGRI SEMARANG
SKRIPSI
FEMINISME
DALAM NOVEL PECUN MAHAKAM
KARYA
YATIE ASFAN LUBIS
yang
disusun dan diajukan oleh
Teguh Khoirur Rozieq
NPM 06410634
telah
dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada
tanggal 7 Agustus 2010
dan
dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji
Ketua,
Dra. Sri Suciati, M.Hum
NIP 1965 031 619 900 32002
|
Sekretaris,
Drs. Hardjito, M.Hum
NPP 936501103
|
1.
Drs.
Hardjito, M.Hum (........................................ )
NPP
936501103
2.
Dra. Asropah, M.Pd (........................................ )
NPP
936601104
3.
Dra. Ambarini AS, M.Pd (........................................ )
FAKULTAS
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP
PGRI SEMARANG
MOTO
dan PERSEMBAHAN
MOTO
Jalani
saja apa yang ada depan kita, jangan berhenti melangkah hingga sampai pada
tujuan.
Mencari
itu sulit, tetapi menjaga dan mempertahankan lebih sulit daripada mencari.
Skripsi
ini dipersembahkan untuk :
Kedua
orangtuaku, yang telah membesarkan tanpa keluh kesah. Terima kasih atas semua yang kalian berikan.
Teman
– teman diskusi semua yang tak dapat disebutkan satu-persatu yang memberikan
dukungan dan mengajarkan untuk tidak
cepat putus asa.
ABSTRAK
Skripsi dengan
judul “Feminisme Dalam Novel Pecum
Mahakam Karya Yatie Asfan Lubis” berisi tentang aksi feminisme yang dikupas
menggunakan metode deskriptif kualitatif dari perumusan masalah bagaimanakah
gerakan feminisme dalam novel Pecun
Mahakam yang bertujuan dapat mendesriksikan sebuah aksi feminisme. Dalam skripsi
ini terdapat dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Tentunya
juga dengan merujuk pada sistematika penulisan yang lazim digunakan.
Skripsis ini
dibagi menjadi empat bab. Yang pertama adalah bab pendahuluan, berisi subtansi
latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, tujuan masalah,
manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Kedua, bab landasan teori.
Berisi tentang landasan teori berupa tokoh, latar/setting, pengertian feminisme,
kritik sastra feminis, dan pengungkapan citra. Ketiga, bab analisis novel Pecun Mahakam karya Yatie Asfan Lubis
dengan menggunakan kajian feminisme.
Dalam
menganalisis, kajian ilmu yang digunakan adalah kajian feminisme, kritik sastra
feminis dan pengungkapan citra. Banyak sekali kutipan-kutipan yang di dalamnya
terdapat unsur feminisme. Ody adalah salah satu tokoh utama dari Novel Pecun Mahakam Karya Yatie Asfan Lubis
danditambah beberapa tokoh tambahan lainnya.
Ada tiga hal
dalam analisis ini, di antaranya analisis tokoh, analisis latar, dan analisi
bentuk feminisme. Wujud feminisme sendiri terbagi menjadi tiga sub bahasan,
yaitu 1) perempuan di mata laki-laki, 2) kekuatan perempuan, dan 3) eksistensi
perempuan. Dari tiga hal tersebut menyatu dalam novel Pecun Mahakam Karya Yatie Asfan Lubis.
KATA
PENGANTAR
Puji sukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi dengan judul
” Feminisme Dalam Novel Pecun Mahakam
Karya Yatie Asfan Lubis “ disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar sarjana strata (S1) Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni IKIP PGRI
Semarang.
Penulis sadari bahwa dalam penulisan
skripsi ini tidak akan pernah berhasil, tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbabagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Bapak
Muhdi, SH, M.Hum, selaku rektor IKIP PGRI Semarang.
2. Dra.
Sri Suciati, M.Hum, selaku dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni.
3. Semua
keluarga saya, terimakasih karena
dukungan dan doa–doanya.
4. Dra.
Asrofah, M.Pd Selaku dosen pembimbing
5. Drs.
Harjito, M.Hum. Selaku dosen pembimbing
6. Terry,
yang selalau membantu dan menemani kemana – mana guna kepentingan penulisan
skripsi ini, Makasih banget.
7. Trio
Terenyuh. Mudah–mudahan saja kita selalu kompak selalu
8. Semua
teman–teman Mahasiswa jangan pernah bosan dan merasa jenuh,
Atas
semua dukungan, bimbingan, bantuan dan partisipasinya yang telah mereka
berikan, penulis tidak bisa membalasnya. Semoga amal kebaikannya mendapat
imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis berusaha semaksimal mungkin dalam
menulis skripsi ini agar dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Semarang 27 Juli 2010
Penulis
DAFTAR
ISI
JUDUL
|
………………………………………………………..
|
i
|
||||||||||||||||||
PERSETUJUAN
|
……………………………………………………
|
ii
|
||||||||||||||||||
PENGESAHAN
|
……………………………………………………
|
iii
|
||||||||||||||||||
MOTO
Dan PERSEMBAHAN
|
………..………………………………
|
iv
|
||||||||||||||||||
ABSTRAK
|
…………………………………………………………
|
v
|
||||||||||||||||||
KATA
PENGANTAR
|
………………………………………………
|
vi
|
||||||||||||||||||
DAFTAR
ISI
|
…………………………………………….……
|
viii
|
||||||||||||||||||
BAB I PENDAHULUAN
|
||||||||||||||||||||
A. Latar
Belakang Masalah
|
………………………………………..
|
1
|
||||||||||||||||||
B. Perumusan
Masalah
|
…………………………………………….
|
3
|
||||||||||||||||||
C. Tujuan
Penelitian
|
……………………………………………
|
3
|
||||||||||||||||||
D. Manfaat
Penelitian
|
…………………………………………….
|
3
|
||||||||||||||||||
E. Penegasan
Istilah
|
…………………………………………….
|
4
|
||||||||||||||||||
F. Metode
Penelitian
|
…………………………………………….
|
5
|
||||||||||||||||||
G. Sistematika
Penulisan
|
…………………………………………
|
7
|
||||||||||||||||||
BAB
II LANDASAN TEORI
|
||||||||||||||||||||
A. Pengertian
Novel
|
….…………………………………………
|
9
|
||||||||||||||||||
B. Teori
Struktural Karya Sastra
|
………………………………….
|
9
|
||||||||||||||||||
C. Pengertian
Feminisme
|
………………………………………..
|
13
|
||||||||||||||||||
D. Kritik
Sastra Feminis
|
………………………………………..
|
18
|
||||||||||||||||||
E. Pengungkapan
Citra
|
…………………………………………...
|
21
|
||||||||||||||||||
BAB
III FEMINISME DALAM NOVEL PECUN
MAHAKAM KARYA YATIE ASFAN LUBIS
|
||||||||||||||||||||
A. Tokoh
|
………………………………………………………..
|
27
|
||||||||||||||||||
1. Tokoh
Utama
|
……………………………………………
|
27
|
||||||||||||||||||
2. Tokoh
Tambahan
|
…………………………………………...
|
31
|
||||||||||||||||||
B. Latar
|
…………………………………………………………….
|
34
|
||||||||||||||||||
1. Latar
Tempat
|
.……………………………………………….
|
34
|
||||||||||||||||||
2. Latar
Waktu
|
.……………………………………………….
|
35
|
||||||||||||||||||
3. Latar
Sosial
|
………………………………………………..
|
36
|
||||||||||||||||||
C. Feminisme
|
………………………………………………………
|
38
|
||||||||||||||||||
1. Perempuan
di mata laki-laki
|
………………………………
|
38
|
||||||||||||||||||
2. Kekuatan
Perempuan
|
.……………………………………..
|
43
|
||||||||||||||||||
3. Eksistensi
Perempuan
|
……………………………………..
|
47
|
||||||||||||||||||
BAB
IV PENUTUP
|
||||||||||||||||||||
A. Simpulan
|
…………………………………………………….
|
51
|
||||||||||||||||||
B. Saran
|
…………………………………………………………...
|
52
|
||||||||||||||||||
DAFTAR
PUSTAKA
|
||||||||||||||||||||
Lampiran
|
||||||||||||||||||||
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Masalah yang dihadapi oleh perempuan
tidaklah mudah dipahami Membutuhkan
banyak sekali konsep untuk melandasi pendapat yang akan dikeluarkan. Konsep
yang digunakan pun mengalami perubahan mengikuti alur perubahan waktu. Bukan
masalah biologis saja permasalahannya tetapi juga yang berhubungan dengan
masalah sosial.
Sering dijumpai seorang perempuan
menemukan masalah yang sudah biasa dihadapi perempuan lain yang mereka anggap
merupakan masalah baru. Sadar maupun tidak sadar setiap pribadi perempuan
mempunyai masalah yang berbeda-beda berdasarkan individu masing-masing. Apabila
di rata-rata tidak ada tingkat kesamaan masalah pada masing-masing perempuan
meskipun pada tingkatan sosial yang sama.
Untuk menghadapi satu-persatu masalah
mereka mempunyai konsep sendiri-sendiri sebagai jalan keluar yang bisa
dikatakan solusi ampuh. Biasanya memperlihatkan eksistensi sebagai perempuan
yang mereka anggap tidak dapat dilakukan orang lain diantaranya perempuan yang
lain bahkan lawan jenisnya. Saat itulah perempuan merasakan bahwa ia berada
pada posisi paling ujung. Entah ujung kesuksesan atau ujung dari kehancuran
sosial.
Melalui sebuah karya sastra, Yatie Asfan
Lubis dalam Pecun Mahakam (2004)
menampilkan sebuah eksistensi seorang perempuan yang lebih tepatnya eksistensi
gadis remaja. Eksistensi itu termuat dalam satu wadah permasalahan yang
kemudian menjadi aksi feminisme pada usia remaja.
Feminisme adalah suatu gerakan yang
memusatkan perhatian pada perjuangan perempuan dalam mendapatkan eksistensinya
(Noor,2007:99). Pengakuan eksistensi
membutuhkan banyak sekali perjuangan, berjuang untuk menempatkan diri sesuai
apa yang diinginkannya sendiri, berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari orang
lain, berjuang menyeimbangkan antara kebutuhan sosial dengan kebutuhan
psikologisnya.
Kaum perempuan justru adalah kaum yang
bekerja keras, bahkan berfungsi tidak lebih daripada budak (Fauzie
Ridjal,1993:148). Secara umum budak menitik beratkan pada seseorang yang mau
melakukan apapun menurut perintah pembesarnya.
Sangat berat rasanya apabila gadis
remaja harus memperjuangkan eksistensinya karena tidak mendapatkan dukungan
dari orang terdekat ataupun orang lain. Begitulah alasan mereka memperjuangkan
eksistensinya agar tetap diakui dalam novel Pecun
Mahakam karya Yatie Asfan Lubis. Penempatannya dalam tata kehidupan
masyarakat hanya sebagai seorang “dapur-sumur-kasur” membuatnya miskin,
khususnya miskin cakrawala secara ruang-waktu maupun mental, walaupun mungkin
ia dilimpahi kekayaan duniawi yang berlebihan (Fauzie Ridjal,1993:148).
Karya
sastra yang berupa novel karya Yatie Asfan Lubis menarik perhatian untuk
dianalisis sebagai sebuah kajian feminisme
B. Perumusan
Masalah
Beranjak dari uraian latar belakang
dapat ditentukan rumusan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah
gerakan feminisme dalam novel Pecun
Mahakam Karya Yatie Asfan Lubis?
C.
Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah
ditentukan maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gerakan
feminisme dalam novel Pecun Mahakam Karya
Yatie Asfan Lubis.
D.
Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini memiliki dua manfaat,
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat penelitian tersebut akan
diuraikan sebagai berikut :
1. Manfaat
Teoritis
Hasil
penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumbangan perbendaharaan penelitian
sastra, terutama penelitian terhadap gerakan perempuan dalam sebuah karya
sastra bentuk novel.
2. Manfaat
Praktis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam memahami dan menafsirkan karya
sastra pada umumnya dan hasil karya Yatie Asfan Lubis pada khususnya.
E.
Penegasan Istilah
Agar tidak mengalami pembengkakan
masalah maka diberikan batasan arti dan istilah
yang tertuang pada judul. Dengan demikian dapat sesuai dengan tujuan
penelitian. Mengenai istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Feminisme
Redyanto Noor
mendeskripsikan feminisme adalah suatu gerakan yang memusatkan perhatian pada
perjuangan perempuan dalam menempatkan eksistensinya. Eksistensi dalam
KKBI(2003) adalah keberadaan dalam hidup.
Perempuan dalam
pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan
hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntut haknya sebagai
manusia secara penuh (Kridalaksana, 1999:258,275).
Di antara berbagai
ragam feminisme, ragam yang cukup menonjol adalah feminisme radikal, marxis, sosialis,
dan liberal (Megawangi,1999:
113-182). Meskipun demikian, penelitian ini tidak mengacuhkan pembagian
teori feminisme dalam delapan bagian yang meliputi feminisme radikal, feminisme
marxis dan sosialis, feminisme liberal, feminisme psikoanalisis, feminisme iksistenialis,
feminisme postmodern, feminisme multikultural dan global, serta feminisme
ekofeminisme (Arivia,2003:152-154).
2. Novel
Novel dalam penelitian
ini adalah sebagai buah karya sastra dari Yatie Asfan Lubis yang berjudul Pucun Mahakam.
F.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
yang serba guna dan trandisipliner untuk menunjukkan representasi perbedaan
manusia dan mengupayakan perubahan sosial melalui hubungan spesial dengan
pembaca hasil penelitian ini. Pengungkapan citra perempuan yang dilakukan
dengan menggunakan kritik sastra feminis ini bersifat kulitatif sehingga jenis
data yang diambil pun bersifat kualitatif, misalnya data-data yang
mendeskripsikan status dan peran perempuan dalam keluarga, masayarakat dan
lingkungan kerja. Di dalam data ini terkandung rincian data yang lebih detail.
Pengkajian variabelnya dilakukan dengan studi deskriptif kualitatif dalam
bentuk studi kasus.
Tahap kedua sesuai dengan
landasan teori pada kritik sastra feminis, menurut Culler (dalam
Sofia,2009:25).yaitu sebagai perempuan, artinya adalah kesadaran pembaca mengenai
penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra,
membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang indosentris dan
patriatikal
Mencermati pemikiran Ruthven dalam
Sofia (2009:25) mengenai citra, gambaran penelitian sastra dengan pendekatan
feministik ialah sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi tokoh perempuan di
dalam karya sastra. Selanjutnya mencari kedudukan tokoh-tokoh tersebut dalam
berbagai hubungan, tidak harus dengan laki-laki, melainkan menekankan pada
identitasnya dalam keluarga dan masyarakat, dengan demikian, penelitian ini
juga memperhatikan pendirian serta ucapan tokoh perempuan yang bersangkutan. Apa
yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh perempuan akan banyak
memberikan keterangan tentang `tokoh tersebut.
Berdasarkan
beberapa rumusan cara di atas, langkah-langkah penilitian ini disusun sebagai
berikut.
1.
Menentukan karya yang dijadikan objek
material penelitian, yaitu berupa karya sastra berupa novel berjudul Pecun Mahakam karya Yatie Asfan Lubis.
2.
Menetapkan masalah pokok penelitian,
yaitu masalah citra perempuan dalam novel berjudul Pecun Mahakam karya Yatie Asfan Lubis. Penentuan ini dilakukan
dengan membatasi fakta leterer yang menyangkut perempuan, baik deskripsi
perilaku, citra, maupun perannya sebagai seorang tokoh dari sejumlah tokoh yang
terdapat dalam novel karya Yatie Asfan Lubis.
3.
Melakukan studi pustaka dengan mencari
dan mengumpulkan bahan-bahan yang mendukung objek penelitian. Pustaka yang
dimaksud adalah yang berkaitan dengan tinjauan kritik sastra feminis yang
berkaitan dengan studi perempuan pada bidang ilmu medis, hukum, biologi,
psikoanalitik, sosiologi dan sebagainya.
4.
Menganalisis novel Pecun Mahakam karya Yatie Asfan Lubis dengan tinjauan kritik sastra
feminis. Berbagai disiplin ilmu dapat membantu penelitian tentang citra
perempuan ini. Akan tetapi, pengungkapan citra tersebut dilakukan sebagaimana
langkah yang disebutkan disertai korelasinya dengan perspektif feminisme.
5.
Menarik kesimpulan yang menunjukkan
muatan feminis. Kesimpulan akhir yang diperoleh dari analisis data berdasarkan
teori tertentu harus mampu menjawab semua persoalan yang termuat dalam rumusan
masalah hingga memperoleh wujud pencitraan perempuan dalam novel Pecun Mahakam karya Yatie Asfan Lubis.
6.
Merumuskan dan melaporkan hasil
penelitian.
G. Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan penelitian
ini terbagi dalam beberapa bab. Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar
belakang penelitian, populasi dan sampel, serta sistematika penulisan.
Bab II berupa landasan teori
Bab III merupakan analisis terhadap
pergerakan feminisme pada novel Pecun Mahakam
karya Yatie Asfan Lubis
Bab IV adalah bab terakhir penelitian
ini yang merupakan kesimpulan penelitian. Bab ini mengungkap keseluruhan
pencitraan pergerakan perempuan untuk menunjukkan eksistensinya sebagai seorang
perempuan dalam novel Pecun Mahakam karya
Yatie Asfan Lubis.
BAB II
LANDASAN TEORI
Penelitian terhadap novel Pecun Mahakam Karya Yatie Asfan Lubis menuntut
penelitian ini menggunakan teori yang dapat mengupas masalah secara dalam. Hal
ini sesuai dengan definisi ‘riset’ sebagai kegiatan yang diarahkan pada kerja
pencarian ulang atau pencarian kembali atas suatu objek sekaligus kegiatan yang
memerlukan ketelitian, kecermatan, dan kecerdasan yang memadai.
A. Pengertian
Novel
Novel adalah cerita rekaan yang
panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa
dan latar (setting) secara
terstruktur (Noor,2007:27)
B. Teori
Sturktural Karya Sastra
Satu konsep dasar yang menjadi ciri
teori struktural adalah adanya pandangan bahwa di dalam sebuah karya sastra
memiliki kesatuan otonom, yang terdiri dari unsur–unsur pembentuk yang saling berjalinan dan
mempunyai hubungan timbal balik antara unsur -
unsur pembentuk dengan keseluruhan. Oleh karena itu, untuk dapat
memahami karya sastra, analisis struktur merupakan prioritas utama sebelum
menganalisis unsur yang lainya. Tanpa analisis struktural, kebulatan makna
intrinsik tidak dapat terungkap. Makna unsur–unsur karya sastra hanya dapat
dipahami dan dinilai sepenuh atas dasar pemahaman tempat dan fungsi secara
keseluruhan. Unsur–unsur tersebut adalah:
1. Tokoh
Penggambaran tokoh difungsikan sebagai
penggambaran secara jelas mengenai seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita, atau sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral dan sesuatu
yang akan disampaikan oleh pengarang (Nurgiyantoro,1995:165–167).
Tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa ( Sudjiman, 1988:
16). Tokoh juga dapat diartikan sebagai pelaku atau aktor dalam sebuah cerita
sejauh ia dianggap oleh pembaca sebagai tokoh konkret, individual.
Para tokoh rekaan perlu digambarkan
ciri–ciri lahir dan sikap serta batinnya agar wataknya dapat dikenal oleh
pembaca. Watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang dapat
membedakan dengan tokoh yang lain. Penyajian watak dan penciptaan tokoh inilah
yang disebut penokohan (Sudjiman, 1988: 23). Sedangkan menurut Abaraham dalam
Nurgiyantoro, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang ditampilkan dalam cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165).
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh
dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis
adalah tokoh yang kita kagumi, secara popular sering disebut pahlawan dan
pengejawantahan norma–norma, nilai–nilai yang ideal (Nurgiyantoro, 1995:179).
Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penentang atau lawan tokoh
protagonis (Sudjiman, 1988: 19).
Konflik yang terjadi biasanya dibawa
oleh tokoh antagonis. Namun dapat pula disebabkan oleh hal – hal lain di luar
individualitas seseorang, misalnya: bencana alam, kecelakaan lingkungan alam
dan sosial, aturan – aturan sosial, nilai – nilai moral ataupun kekuasaan –
kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi (Nurgiyantoro, 1995: 179).
Kriteria yang digunakan untuk menentukan
tokoh utama adalah keterlibatan tokoh didalam peristiwa yang dapat membangun
cerita, bukan frekuensi kemunculan tokoh dalam cerita. Selain itu tokoh utama
dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antara tokoh, sedangkan
tokoh lain itu tidak semua berhubungan dengan yang lain (Sudjiman, 1988: 8)
2. Latar
/ Setting
Latar dapat memberikan pijakan cerita
secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada para pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah – olah sungguh –
sungguh ada yang terjadi. Dengan demikian akan dipermudah untuk berimajinasi
dan bersikap kristis sehubungan dengan pengetahuan tentang latar (Nurgiyantoro,
1995: 217).
Latar mengacu pada pengertian tempat,
hubungan waktu, lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang
di ceritakan Abram dalam Nurgiyantoro (1995: 216). Fungsi latar dalam karya
fiksi sangat penting yaitu memberikan kesan konkret dan jelas. Latar membantu
memudahkan pembaca untuk menangkap isi cerita.
Latar tempat menunjuk pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan dapat berupa tempat dengan nama tertentu, misalnya inisial lokasi
atau mungkin lokasi berupa tempat tertentu tanpa nama jelas (Nurgiyantoro,
1995: 228).
Latar sosial menunjuk hal–hal yang berhubungan
denga prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Kehidupan sosial mencangkup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa: kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, sikap, dan yang tergolong latar spiritual
(Nurgiyantoro,1995:223)
3. Tema
Dalam membaca karya novel atau fiksi
tentu juga berusaha untuk mendapatkan makna cerita novel tersebut. Menafsirkan
tema adalah upaya untuk memahami makna cerita yang terdapat dalam sebuah novel
(Nurgiyantoro, 1995: 66).
Tema adalah ide, gagasan, pandanga hidup
pengarang yang melatar belakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan
refleksi masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat
beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, ide,
atau keinginan pengarang menyiasati persoalan yang muncul.
Sebagai sebuah karya imajinatif, tema
dapat diungkap melalui berbagai cara, seperti malalui dialog tokoh–tokohnya, melalui
konflik–konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung.
Tema dapat disamarkan sehingga kesimpulan tentang tema yang diungkap pengarang
harus dirumuskan sendiri oleh pembaca.
Esten memberikan tiga kriteria untuk
menentukan tema. Tiga kriterai itu adalah :
1)
Permasalahan utama yang paling menonjol.
2)
Secara kuantitatif permasalahan yang
banyak menimbulkan konflik. Atau konflik yang dapat menimbulkan peristiwa –
peristiwa,
3)
Tema dapat menentukan waktu penceritaan,
yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa – peristiwa atau tokoh
dalam cerita.
C. Pengertian
feminisme
Redyanto Noor mendeskripsikan feminisme adalah
suatu gerakan yang memusatkan perhatian pada perjuangan perempuan dalam
menempatkan eksistensinya. Eksistensi dalam KKBI(2003) adalah keberadaan dalam
hidup.
Wolf dalam Sofia (2009:13).
Mengartikan feminisme sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri
pribadi dan harga diri semua perempuan. Istilah “menjadi feminis”, bagi Wolf,
harus diartikan dengan “menjadi manusia”. Pada pemahaman yang demikian, seorang
perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri. Sementara itu Budianta
(2002:201) mengartikan feminisme sebagai bentuk kritik ideologis terhadap cara
pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakakilan dalam
pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis
kelamin.istilah feminisme dalam penelitian ini berarti kesadaran akan adanya
ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Kesadaran itu harus diwujudkan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Perempuan dalam
pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntut haknya
sebagai manusia secara penuh (Kridalaksana, 1999:258,275).
Di antara berbagai
ragam feminisme, ragam yang cukup menonjol adalah feminisme radikal, marxis,
sosialis, dan liberal (Fakih, 1999:84-98. Meskipun demikian, penelitian ini
tidak mengacuhkan pembagian teori feminisme dalam delapan bagian yang meliputi
feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme liberal, feminisme
psikoanalisis, feminisme iksistenialis, feminisme postmodern, feminisme multicultural
dan global, serta feminisme ekofeminisme (Arivia,2003:152-154).
Feminisme radikal
beranggapan bahwa penguasan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan
seksual adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi penganut
feminisme radikal, patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang
merupakan sistem hierarki seksual yang dalam hal ini laki laki memiliki
kekuasaan superior dan privilege ekonomi. Sementara itu, feminisme marxis
meletakkan persoalan perempuan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Lanjutan
dari feminisme marxis adalah feminisme sosialis yang menganggap analisis
patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Menurut Ruthven dalam Sofia
(2009:15) Ragam feminis ini juga menganggap bahwa ketidakadilan bukan akibat
dari perbedaan biologis, melainkan karena penilaian dan anggapan terhadap
perbedaan itu.
Sementara itu feminisme
liberal adalah feminisme yang memandang adanya korelasi positif antara
partisipasi dalam produksi dan status perempuan (Fakih, 1999:95). Feminisme
liberas memandang manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama meskipun
mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan. Bagi feminisme
liberas manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip
moralitas dan kebebasan individu. Prinsip prinsip ini juga menjamin hak-hak
individu (Arivia,2003:152).
Ragam yang lain adalah
ragam feminisme psikoanalisis. Ragam ini menekankan penindasan permpuan yang
terletak pada psyche dan cara berpikir perempuan dengan menggunakan isu-isu
drama psikoseksual Oedipus dan kompleksitas kastrasi Freud. Sementara itu,
pemikiran feminisme a la de Behavior yang memandang ketertindasan perempuan
ialah karena dipandang sebagai the other merupakan ragam feminisme
eksistesialisme. Merespons pemikiran di beauvior tersebut, terdapat feminisme
lain, yaitu feminisme postmodern. Menurut raga mini, the otherness tersebut
tidak hanya dari kondisi inferioritas dan ketertindasan, melainkan juga cara
berada, berpikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas, dan
perbedaan. Dengan menekankan pada kajian cultural, feminisme multicultural dan
global meyakinkan bahwa selain dengan patriarki penindasan dapat dijelaskan
melalui ras, etnisitas, kolonialisme, serta dikotomi “dunia pertama” dan “dunia
ketiga” (Arivia, 2003:153).
Selain itu, terdapat
pula ragamfeminisme yang mutakhir yaitu ekofeminisme yang melihat individu
secara komprhensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Ragam ini berupaya memberikan kesadaran pada perempuan bahwa
kuasitas pengasuhan, pemeliharaan, dan cinta adalah fitrah perempuan dan ia
berhak untuk mengaktualisasikan di mana pun ia berada, termasuk ketika ia
berada di duni maskulin (Megawangi, 1997:75-94).
Ragam feminism yang
telah dikemukakan di atas memiliki beberapa kekurangan. Feminism radikal
memiliki potensi masuk pada jebakan esensialisme bahwa sifat dasar perempuan
lebih baik daripada laki-laki dan raga mini membuat dikotomi antara laki laki
dan perempuan. Di pihak lain, feminism marxis dan sosialis dianggap hanya
melihat relasi keluarga sebagai eksploitasi kapitalisme tempat perempuan
menjual tenaga secara gratis. Feminism marxis dan sosialis ini tidak melihat
ada arti yang lebih dari itu bahwa juga ada peranan cinta kasih, rasa aman, dan
nyaman. Dengan demikian, semua sisi kehidupan bagi feminism marxis dan sosialis
diterjemahkan dari segi eksploitasi secara ekonomi dan terlalu menekankan
analisis kelas dan bukan jender. Sementara itu feminisme liberal yang eksklusif
perempuan kulit putih dan kelas menengah ini memberikan prioritas pada hak
politik dan bukan hak ekonomi dan menekankan pada persamaan perempuan dan laki
laki (sameness). Selain itu,
perempuan tidak dapat hanya didefinisikan sebagai manusia yang berakal (reason) atau otonom (Arivia,2003:152).
Feminisme psikoanalisis
dianggap telah mengeneralisasi perbedaan karakteristik moral perempuan dan laki
laki. Demikian halnya dengan feminisme eksistensialis yang dianggap tidak
melihat pergerakan dan komitmen politik perempuan dan tidak menekankan pada
solidaritas perempuan. Di pihak lain, feminisme postmodernisme dikesankan
terlalu akademis sehingga tidak memiliki aksi polotis yang kolaboratif. Akan
tetapi, terlalu banuak berbicara politik dan tidak memfokuskan pda isu jender
justru merupakan kritik terhadap ragam feminisme multicultural dan global.
Ragam trakhir yang telah disinggung di atas ialah ragam feminisme ekofiminsime.
Ragam ini sangat rentan untuk masuk pada jebakan perempuan sama dengan alam
yang dapat mendefinisikan perempuan kembali secara kodratiah (Arvia,2003:152-154).
Sementara itu, sejarah
mencatat bahwa pada paruh kedua abad kedua puluh, yaitu ketika kelas atas dan
menengah telah memiliki akses penuh terhadap kehidupan publik dan telah
terintegrasi dengan masyarakat luas, munculah feminisme muslim. Sebagaimana
feminisme pada umumnya, feminissme muslim bukan merupakan pemikiran teoritis
dan gerakan yang seragam. Akan tetapi, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa
perempuan dalam struktur organisasi sosial masyarakat muslim masih belum setara
dengan laki-laki merupakan kesadaran yang sama yang dimiliki oleh feminisme
muslim. Para feminis muslim ini berusaha membongkar historistik akar
permasalahan yang menyebabkan ketidakadilan dan berpendapat bahwa penafsiran
ulang terhadap ayat-ayat Alquran diperlukan dalam rangka menjawab relefansinya
dengan kehidupan manusia (Baroroh, 2002:198-199).
D. Kritik
Sastra Feminis
Dari berbagai pemikiran feminisme
di atas terlihat bahwa munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa
konstruksi sosial jender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat
memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki laki dan perempuan. Kesadaran akan
ketimpangan struktur, system, dan tradisi masyarakat di berbagai bdang inilah
yang kemudian melahiran kritik feminis.
Kritik feminis terhadap karya
sastra digunakan sebagai materi pergerakan kebebasan perempuan dan dalam
mensosialisasikan ide feminis sebagaimana menurut Stimspson dalam Sofia (2009:20),
dalam kutipan berikut.
Because of its origin in the women’s
liberation movement, feminist criticism values literature that is of some use
to the movement. Prescriptive cristicism, then, is best defined ini terms of
the ways isn which literature can serbe the cause of liberation. To earn
feminist approval, literature must perform one or more of the following
function; (1)serve as a forum for women; (2) help to achieve cultural
androgyny; (3) provide role models; (4) promote sisterhood; and (augment
consciousness raising.
(karena berasal dari pergerakan
kebebasan perempuan, kritik feminis menilai karya sastra sebagai sesuatu
yang berguna bagi pergerakan itu. Kritik
preskriptif, dengan demikian, dapat didefinisikan sebagai cara-cara agar sastra
dapat menjadi sebab kebebasan. Untuk dapat persetujuan dari para feminis,
sastra harus menampilkan satu atau lebih fungsi fungs berikut. (1) menjadi
sebuah forum bagi perempuan; (2) membantu meraih kesejajaran cultural; (3)
menyediakan model utama; (4) mempromosikan hubungan antar perempuan; dan (5)
mendorong bangkitnya kesadaran.)
Ruthven dalam Sofia (2009:20). Selanjutnya,
label perjuangan untuk mengidentifikasi telaah perempuan dalam sastra diperoleh
melalui perpaduan tiga kata, yaitu ‘kritik’, ‘sastra’, dan ‘feminis’. Sementara
itu Goodman dalam Sofia (2009:20). Kritik sastra feminis merupakan sebuah
pendekatan akademik pada studi sastra dan konteks produksi dan resepsi. Kerja
kritik ini ialah menitik karya sastra dengan melacak ideology yang membentuknya
dan menunjukkan perbedaan perbedaan antara yang dikatakan oleh karya dengan
yang tampak dari sebuah pembacaan yang teliti.
Kritik sastra feminis
mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarakan paham selalu
dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentan
perempuan. Selain itu, kritik ini berusaha mengidentifikasi suatu pengalaman dan
perspektif pemikiran laki laki dan cerita yang dikemas sebagai pengalaman
manusia dalam sastra. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah pemahaman terhadap
karya sastra sekaligus terhadap signifikansi berbagai kode jender yang
ditampilkan teks berdasarkan hipotesis yang disusun.
Menurut Millett dalam Sofia (2009:20).
Kritik sastra feminis melihat karya sebagai cermin anggapan anggapan estetika
dan politik mengenai jender yang dikenal dengan istilah politik seksual.
Sasaran kritik sastra fiminis adalah memberikan respons kritis terhadap
pandangan pandangan yang terwujud dalam karya sastra yang diberikan oleh
budayanya kemudian mempertanyakan hubungan seks, kekuasaan, dan seksualitas
yang terungkap dalam teks
Dari pemikiran tersebut, Culler,
dalam Sofia (2009:20), menawarkan konsep reading
as a women sebagai bentuk kritik sastra feminis. Sejalan dengan proyek
feminis yang bertujuan mengakhiri dominasi pria, kritik sastra feminis
mengambil peran sebagai suatu bentuk kritik negosiasi, bukan sebagai bentuk
konfrontasi. Kritik ini dilakukan untuk berkompromi dengan wacana dominan
tersebut. Kritik sastra feminis lebih dari sekedar perspektif. Ia menampilkan kecanggihan
dengan menggunakan aliansi strategi dengan teori-teori kritis.
Culler melalui Sofia (2009:21), kritik
sastra feminis dapat dipetakan sebagai kritik sastra feminis Anglo Amerika yang
terdiri atas pendekatan citra perempuan (images of women) dan pendekatan
penulis perempuan (women writers) serta kritik sastra feminis Prancis atau
pascastrukturalis. Penelitian ini berupaya mengungkap citra perempuan kuasa.
Oleh karena itu, penelitian ini bergerak seirama dengan feminis Anglo Amerika
yang memiliki pendekatan pada citra perempuan image of women).
Kritik sastra feminis yang
digunakan untuk mengungkap citra perempuan kuasa dalam novel karya Yatie Asfan
Lubis merupakan negosiasi akan adanya sebuah bentuk gambaran citra perempuan
yang kuasa atas nasibnya sendiri. Kritik sastra feminis dalam penelitian ini
menggunakan perspektif kekuasaan perempuan dengan menyandarkan pada novel karya
Yatie Asfan Lubis sebagai objek penelitian.
E. Pengungkapan
citra
Sastra adalah salah satu dari
berbagai bentuk representasi budaya yang menggambarkan relasi dan rutinitas
jender. Selain itu, teks sastra juga dapat memperkuat dan membuat stereotype jender
baru yang lebih merepresentasikan kebebasan jender. Oleh karena itu menurut
Goodman dalam Sofia (2004:21), kritik sastra feminis membantu membangun studi
jender yang direpresantasikan dalam sastra. Peta pemikiran feminisme hingga
kritik sastra feminis di atas diharapkan mampu memberikan pandangan pandangan
baru terutama yang berkaitan dengan bagaiman karakter karakter perempuan
diwakili dalam karya sastra. Dalam hal ini para feminis menggunakan sastra
feminis untuk menunjukkan citra perempuan dalam karya penulis perempuan yang
menampilkan perempuan sebagai makhluk yang ditekan, disalahtafsirkan, serta
disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan. Di pihak lain, kajian tentang
perempuan dalam tulisan penulis perempuan sering menunjukkan tokoh tokoh
perempuan yang kuat dan justru mendukung nilai nilai feminis.
Kedua keinginan tersebut menimbulkn
beberapa ragam kritik sastra feminis. Sosiofeminis yang menekankan pada peran
peran yang diberikan untuk perempuan di masyarakat mendorong ragam kritik
sastra feminis yang melihat perempuan direpresentasikan dalam teks teks sastra
atau yang disebut dengan images of women. Sementara itu, semiofeminis yang
berangkat dari semiotika atau ilmu tanda tanda bekerja dengan meneliti
paraktik-praktik yang menandai dengan menggunakan perampuan yang dikodekan dan keklasifikasikan
menurut peran sosial mereka. Psikofeminis merupakan kritik sastra yang
menggunakan Freud dan Lacan sebagai teori seksualitas feminine. Kritik sastra
feminis ini meneliti teks-teks sastra untuk mencari artikulasi artikulasi bawah
sadar keinginan perempuna atas bekas bekas penekanan. Feminis Marxis mengolah
teks-teks sastra dengan cara Marxis yang menginfiltrasi perempuan dalam
perbincangan mereka yang pada analisis Marxis non-feminis ditemukan kelas
pekerja. Feminsme lesbian lebih menyelikiki hubungang antara seksualitas dan
tekstualitas dengan melihat apa labia sebagai tulisan yang berbeda yang melawan
tulisan yang phallocentric. Feminis
kulit hitam mengungkap masalah yang terjadi antara kulit hitam yang dikuasai
kulit putih, perempuan dalam patriarki,
dan pekerja di bawah kapitalisme. Selain itu, dalam kritik sastra feminis
terdapat pula feminis sosio-semio-psiko-marxis yang sedikit berbuat pada saat
munculnya suatu kejadian.
Di antara ragam-ragam di atas,
sosiofeminis yang berfokus pada images of women dipilih untuk mengungkapkan
perempuan perempuan kuasa dalam novel Pecun
Mahakam Karya Yatei Asfan Lubis. Secara lebih rinci, wujud penelitian
terhadap citra perempuan dijelaskan sebagai berikut.
Penelitian citra perempuan atau images of women ini merupakan suatu
jenis sosiologi yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti
adanya berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian images of women dilakukan untuk dua kegunaan yang berbeda. Di satu
pihak penelitian images of women digunakan
untuk mengungkapkan hakikat representasi stereotype yang menindas yang diubah
kedalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari
hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan. Di pihak lain, Ruthven dalam Sofia (2009:23). Penelitian
images of women digunakan untuk memberikan peluang berpikir
tentang perempuan dengan membandingkan bagaimana perempuan telah direpresentasikan
dan bagaimana seharusnya perempuan direpresentasikan
Menurut Ruthven dalam Sofia (2009:23).
Salah satu problem dalam mempelajari the images
of women in literature ini ialah memerangi tekanan dalam karya sastra yang
merupakan refleksi negatif yang dikokumentasikan dalam cerita dengan
berdasarkan pemahaman bahwa kesadaran feminis adalah kesadaran korbanisasi.
Padahal ada bentuk kesadaran lain, yaitu kesadaran kekuasaan, kesadaran bahwa
diri perempuan kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Problem lain ialah
adanya kebisaan bahwa perempuan cenderung hanya dilihat dalam hubungannya dengan
laki-laki. Menurut Register dalam Sofia (2009:23). Karya sastra seharusnya
memberikan model model peran, menyaring rasa identitas perempuna dengan
menggambarkan perempuan seperti apakah mereka, mengaktualisasikan dengan
identitas yang tidak tergantung dengan laki-laki. Ruthven dalam Sofia (2009:23).
Adanya pengulangan dan keinginan untuk selalu menegaskan juga merupakan problem
dalam kritik images of women ini.
Ruthven dalam Sofia (2009:23). Keberatan-keberatan
yang menyatakan bahwa kritik images of women sangat membosankan merupakan suatu
hal yang mudah dipatahkan karena sebuah kualitas kritik ditentukan oleh
banyaknya bacaan yang melatarbelakanginya. Perempuan dalam kritik images of women tidak dibicarakan sebagai subjek saja,
melainkan dalam hubungannya dengan dunia medis, hukum, biologi, psikoanalitik,
dan sebagainya. Dengan demikian, penelitian images of women ini merupakan usaha
transdisipliner yang menempatkan perempuan sebagai jenis interteks yang
dituliskan dalam hubungan dengan berbagai hal. Oleh karena itu, Ruthven dalam
Sofia (2009:23), pembicaraan yang baik dalam mencitrakan perempuan tergantung
pada representasi yang dipilih untuk mewakilinya. Pembicaraan ini menggunakan
bantuan ideologi feminis yang
mengklasifikasikan beberapa citra
Ruthven dalam Sofia (2009:24). Apabila
sebuah penelitian images of women tertujuan untuk mengungkap seksesme dalam
sastra, hal yang secara dekat terlihat adalah bagaiman perempuan direpresentasikan. Selanjutnya akan ditemukan
berbagai bentuk representasi, seperti representasi stereotype bidadari atau
malaikat dan representasi stereotype makhluk jahat. Menurut Lieberman dalam
Sofia (2009:24). Representasi ini terjadi karena konvensi sastra tidak pernah
murni, melainkan merupakan tingkat peresapan paling halus dari pemahaman bahwa
seksisme mempengaruhi sastra. Representasi tersebut juga terjadi Karen hidup
tidak pernah diberikan dan dikonsepsikan sebelumny, melainkan selalu dan telah
dikode secara budaya sehingga segala yang disaksikan dalam seni yang tampai sebagai
hidup yang ganjil merupakan kesamaan sementara dari sebuah kumpulan kode dengan
kode lainnya.
Mengingat fokus penelitian ini
adalah pencitraan perempuan, pengertian citra perlu diperjelas. Citra merupakan
sebuah gambaran pengalaman indra yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran
berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Sementara itu, Abrams
dalam Sofia (2009:24), pencitraan merupakan kumpulan citra (the
collection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas
tanggapan indra yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi
harfiah maupun secara kias.
Pengungkapan
citra dalam penelitian ini mengacu pada makna setiap gambaran pikiran. Gambaran
pikiran adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang
dihasilkan oleh penangkapan pembaca terhadap sebuah objek yang dapat dilihat
dengan mata, saraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan atau
yang bersangkutan (Pradopo, 1997:80). Dengan demikian, pengertian citra dalam
penilitian ini ialah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku
keseharian perempuan yang menunjukkan perwajahan dan ciri khas perempuan kuasa.
BAB
III
FEMINISME DALAM NOVEL PECUN MAHAKAM
KARYA
YATIE ASFAN LUBIS
A. Tokoh
Dalam Novel Pecun Mahakam yang selanjutnya (PM)
terdapat beberapa tokoh yang dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan
tokoh tambahan.
1.
Tokoh Utama
Tokoh
utama dalam PM bernama Melody terlihat
dalam kutipan dibawah ini.
Melody yang berhidung bangir, rambutnya
sepanjang bahu, terurai lurus mengingatkan pada rambut sebuah jagung yang baru
dipetik dari batangnya (Lubis, 2004:3)
Melody
adalah nama samaran. Nama aslinya adalah Oditta, dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini.
Melody,
itu nama samaran Oditta (Lubis,2004:36)
Ia juga sering disapa Ody dan
Odit
Dengan
melenggak lenggok Ody berjalan menuju warung rokok (Lubis, 2004:12).
Den Ayu
sayang banget sama Non Odit…(Lubis,2004:26)
Ada
beberapa gambaran dari Melody
a. Ciri-ciri
Fisik
Dari kutipan di atas dapat
diketahui bahwa Melody digambarkan secara fisik memiliki hidung bangir, rambut
sepanjang bahu terurai lurus. Dengan warna rambut yang agak cokelat seperti
rambut jagung yang berwarna agak cokelat.
Selain itu Melody memiliki wajah cantik. Dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Lha kowe mengko dadi opo … jadi apa kamu nanti
Cah Ayu?”
“Jadi ondel-ondel…. Cari suami sing sugih…”
Oditta berjalan Menirukan ondel-ondel (Lubis, 2004:29).
Melody, itu nama samara Oditta, memang cantik
luar biasa (Lubis, 2004: 36).
Dari
kutipan diatas, “cah ayu” memiliki
arti anak cantik. Selain itu Cantik
identik dengan jenis kelamin perempuan.
Melody adalah nama samaran dari Oditta.
b. Keadaan
Ekonomi
Mengenai
kehidupan di rumahnya oditta termasuk gadis yang serba kecukupan
Melody
yang untuk kedua kalinya dalam seminggu ini, menginap di rumah Budenya.Ia tak
punya masalah apa-apa di rumahnya, apalagi yang namanya uang, toh ayahnya
memberikan deposito yang cukup, tabungan yang selalu terpenuhi setiap bulan
(Lubis,2004:65).
Dari kutipan di atas tokoh Oditta adalah gadis
yang serba kecukupan. Tidak mempunyai masalah dalam bidang ekonomi, hal itu
karena ayahnya selalu mencukupi kebutuhannya. Oditta adalah gadis yang boleh
dikatakan beruntung karena bisa terpenuhi kebutuhaanya. Dia bisa membeli apapun
yang dia suka.
c. Watak
1) Sopan
Tokoh Ody dalam keluarga mampu menjaga sikap
sebagai seorang perempuan yang sopan yang merak ati, anteng, sehingga banyak
teman yang menyukainya. Terlihat dalam kutipan di bawah ini.
Timpen
selalu ternganga melihat pemandangan mesra semacam ini, “Den Ayu sayang banget
sama Non Odit… lha wong ayu, merak ati, anteng, akeh kancane, yen ngomong
nganggo syur… syur… syong… syong!” (Lubis, 2004:26).
Kutipan ngomong nganggo syur…
syur… syong… syong, sama artinya dalam berbicara menggunakan aturan bicara,
enak didengar, mudah dipahami, tidak membuat bosan. Cara bicara tersebut
menunjukkan kesopanan. Juga terdapat dalam kutipan dibawah ini.
“Den …
Non Odit… nasi gorengnya den … keburu dingin”
“Iya
mbok… Mbokku seng ayu dewe matur sembah suwun ya” Oditt mencoba menirukan cara
budenya berkomunikasi dengan para pegawainya. Timpen tersipu-sipu mendengar
basa-basi itu (Lubis, 2004:27).
Dengan menirukan cara budenya ternyata Odit dapat membuat Timpen
tersipu-sipu. Odit tidak pernah merendahkan siapapun, termasuk sopir
kekasihnya, Damar Wulan yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Pagi dammar… pagi Bang Muin… “ sapa Oditta
pada sopir pacarnya, Odit menggenitkan suaranya (Lubis, 2004:30).
2) Suka
Kebebasan
Selain sopan, Ody juga suka pada
kebebasan. Kebebasan melakukan apapun yang dia inginkan. Misalnya main hingga
larut malam. Terlihat dalam kutipan di bawah ini.
“Lha kok
pulang malem banget… sudah tahu ada ulangan … kapan belajarnya yang bener,
Dit?” cecar Bude, namun mencoba tidak menyinggung perasaannya (Lubis, 2004:27).
Selain pulang malam, Ody juga suka merokok dan
berprofesi menjadi pekerja seks komersial. Hal itu terlihat dalam kutipan di
bawah ini.
Melody
memberikan selembar uang berwarna kemarahan pada Joko Dolog yang sengaja pasang
badan, saat mobil itu mendekati daerah kekuasaannya, dengan melenggak lenggok
Ody berjalan menuju warung rokok (Lubis, 2004:12).
“Mungkin karena aku pintar
melayani mereka dan membuatnya merasa menjadi lelaki yang istimewa . I make
them feel soooo good”, Oditta
mengepulkan asap rokoknya. (Lubis, 2004:12).
Bentuk
pelayanan dari kutipan di atas adalah pelayanan terhadap lelaki hingga
menjadikannya istimewa. Hal ini mengarah pada seks. diperkuat lagi dari kutipan
berikut.
“Melody
… doski pingin jadi brondongnya…” bisik arnel sambil pura pura minta api untuk
menyalakan rokoknya.
Percuma
man… dia sudah punya brondong mahasiswa… tajir …, keren…, cool, kalo ginian mah (Lubis,2004:7).
Dari kutipan di atas, istilah brondong identik
dengan seorang pelanggan PSK. Dikuatkan lagi dari kutipan di bawah ini.
Melody
adalah salah satu dari jutaan pelacur yang ada di muka bumi ini
(Lubis,2004:149).
2. Tokoh
Tambahan
Ada
beberapa tokoh tambahan dalam Novel Pecun
Mahakam, diantaranya :
a. Bapak
Ibu Lamono
Bapak Ibu Lamono adalah orang
tua dari Oditta. Terlihat dalam kutipan berikut.
Dengan wajah kusut, Bapak ibu Lasmono yang
notobene orang tua Oditta mendengarkan penuturan Bude Lastri kakak kandung pak
Lasmono (Lubis,2004:118).
b. Benno
Benno seorang mahasiswa. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Benno, si mahasiswa ganteng
sedang serius di depan komputernya (Lubis,2004:68).
c. Damar
Wulan
Damar adalah kekasih dari Ody
Ody tak pernah membiarkan pelanggannya
mengecup bibinya yang seksi… kecuali untuk Benno dan tentu Damar Wulan, kekasih
di pagi hari… (Lubis,2004:17).
d. Rocky
Tokoh Rocky
terlihat dari kutipan di bawah ini.
Terdengar suara music up beat
dari dalam sebuah mobil Pajero yang parker di kawasan jalan Mahakam. Rocky, seorang remaja tampan
tampak menahan kegugupan yang luar biasa (Lubis, 2004:2).
Dari
kutipan di atas, Rocky memiliki wajah yang tampan juga seorang remaja yang
kaya. Hal tersebut diperlihatkan melalui sebuah mobil Pajero yang dia miliki.
e.
Raden Ayu Lastri
Dalam
novel PM terdapat tokoh Raden Ayu Lastri. Diperlihatkan dalam kutipan di bawah ini.
Perlahan Raden Ayu Lastri
yang akrab dipanggil Bude Lastri, mengintip Ody yang masih tertidur nyenyak
(Lubis,2004:22).
Bude Lastri bersifat penyayang, baik,
perhatian. Dapat dilihat dalam kutipan berikut
Perlahan
diselimutinya kaki keponakan kesanyangannya itu. Lampu meja di sisi tempat
tidur dimatikan (Lubis,2004:22).
f. Joko
“Bob” Dolog
Joko
Dolog adalah seorang GM yang mengatur transaksi antara PSK dengan pelanggannya.
Terlihat dari kutipan di bawah ini.
Sejam
yang lalu Seruni mengiyakan order yang kali ini di atur oleh Joko “Bob” Dolog,
Germo kawasan bawah (Lubis,2004:141).
g.
Trida , Seruni, dan Keke
Dalam novel PM
terdapat juga tokoh Trida seorang pelacur.
“Elo
sudah ketemu Joko Dolog?” Tanya Trida Khawatir (Lubis,2004:53).
Di ketahui seorang pelacur dari hubungan
transaksi yang menunjuk pada Joko Dolog
Juga tokoh Seruni, terlihat pada kutipan
berikut.
Seruni
melangkah masuk apotik, ingin tahu apakah obat untuk ibunya sudah siap diracik
(Lubis, 2004:139).
Seruni
membiarkan tubuhnya yang seksi jadi bulan-bulanan cowok ABG berjumlah empat
orang itu. Setiap gerakan yang dibuatnya membuat para ABG itu kian terangsang…
(Lubis,2004:146).
Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa
seruni juga seorang pelacur.
Keke
diserahkan kepada Danny setelah abang iparnya memperkosanya (Lubis,2004:96).
Tokoh Keke terlihat dalam kutupan di atas. Keke
berusia enam belas tahun, ia berasal dari Tasikmalaya. Terlihat dalam kutipan
di bawah ini.
“Keke…
Keke Rinjani,” sahut Keke, pecun berusia 16 tahun, berasal dari Tasikmalaya (Lubis,2004:95).
B.
Latar
Dalam Novel PM latar dibagi menjadi tiga, yaitu
latar tempat, latar waktu, dan latar sosial
1.
Latar Tempat
a.
Jakarta
Latar tempat dalam novel PM ini bertempat di kota Jakarta khususnya Jakarta Selatan.
Terlihat dalam kutipan di bawah ini.
Saat jam
istirahat di sebuah SMU Swasta di kawasan
Jakarta Selatan (Lubis,2004:34).
Rocky
tampak sedang menikmati siomay di sebuah warung terkenal di kawasan Jakarta
Selatan (Lubis,2004:34).
Selain sebuah SMU Swasta, latar tempat pada
novel PM juga berada di kawasan Blok
M Plaza dan di Jalan Mahakam. Terlihat dalam kutipan berikut.
Malam
yang sama, di seberang Blok M Plaza (Lubis,2004:11).
Kawasan
Mahakam di malam hari yang sama (Lubis,2004:133).
b.
Bandung
Selain di kota Jakarta, latar tempat
pada novel PM berada di kota Bandung
Suatu siang di kawasan
Cihampelas, Bandung (Lubis,2004:77).
Juga diperlihatkan dengan logat
sundanya. Bahasa Sunda biasanya digunakan di Kota Bandung. Terlihat pada
kutipan berikut.
“Kalau abdi mah … pokoknya dibelanjaain baju keren, diajak muter-muter dengan mobil mewah … upami dikasih Rp. 300.000,- sampai Rp.
500.000,- itu mah namanya rezeki…
masa kudu ditolak (Lubis,2004:79).
c.
Yogyakarta
Juga
berada di kota Yogyakarta. Terlihat dari kutipan berikut.
Kawasan
Alun-alun Selatan, Yogyakarta di malam hari (Lubis,2004:83).
2.
Latar Waktu
Latar
waktu dalam novel PM sekitar tahun 2000-an. Hal itu terlihat dari kutipan
berikut.
Sial
nasibnya … kena HIV dan akhirnya mati gantung diri di tahun 2000… Wah, pokoknya
cerita soal putau disini macem-macem (Lubis, 2004:103).
Juga dari kutipan berikut.
Kenape
gua di sini? Gue denger dari temen-temen… lantas gua penasaran dan bergabung
disini sejak tahun 2001 ( Lubis,2004:50).
3.
Latar Sosial
Yang menjadi latar sosial dalam novel Pecun Mahakam diantaranya
a.
Keadaan Ekonomi
Dilihat dari keadaan kaum lelaki
yang kebanyakan kelas atas, seperti Om Melky lelaki kaya yang uangnya banyak,
Rocky anak orang kaya yang punya mobil Pajero, Benno seorang mahasiswa
pengendara BMW C Class. Tampak dalam
kutipan di bawah ini.
“…. tapi kalo melayani gadun
apalagi seperti Oom Melky tadi… dokunya man… apalagi hadiahnya… pokoknya asyik
dan seru” Ody memamerkan segepok uang dari tasnya yang sedikit menganga
(Lubis,2004:12).
BMW itu melesat kearah
selatan ki motel langganan Benno dan Ody (Lubis,2004:16).
Terdengar musik up beat dari
dalam sebuah mobil Pajero yang parker di kawasan Mahakam. Rocky, seorang remaja
tampan tampak menahan kegugupanya (Lubis,2004:2)
b.
Cara Hidup Mewah dan Bebas
Seperti
yang dibutuhkan oleh gadis-gadis jaman sekarang yang membutuhkan barang barang
yang serba mewah, seperti baju, tas, perhiasan, jalan jalan, nginep di hotel,
makan direstoran, dan masih banyak lagi lainya. Kutipan di bawah ini
memperlihatkan keinginan hidup mewah dari tokoh Ody.
For
me… money is nothing… yang gua pingin adalah kebebasan untuk melakukan what
want to do… itu gua yang kagak punya. Gua pingin gaul, makan direstoran keren,
belanja, nginep di hotel bintang sepuluh. Mana mungkin semua keinginan itu jadi
kenyataan kalo gua pukul Sembilan kudu cuci kaki and bobo, kudu belajar siang
dan malam… papa, mama bude kagak pernah tahu … kalo utek gue ini udah cape
mikir. (Lubis, 2004: 65)
Selain Ody, gadis-gadis lain juga
memeliki keinginan yang sama, hidup mewah. Tampak pada kutipan di bawah ini.
“Gue
sih paling demen melayani boss yang sedang rapat di atas….tipsnya gede. Gue
makan enak dan kenyang, dibelanjain segala macem… nginep di hotel mewah”
(Lubis,2004:78).
Imas
memamerkan anting-anting berlian, arloji Rolex yang melingkar di
pergelangannya. Cincin mahal yang menghiasi jemarinya. Gaun merek, tas, sepatu
mewah yang dikenakannya. Really Branded (Lubis,2004:78).
c.
Keluarga Tidak Harmonis
Masalah
keluarga juga menjadi bagian dari latar sosial, karena ketidak harmonisan
sangat berpengaruh pada keluarga.
“Iyya… tapi Odit selalu
bentrok sama papa, mama! Gak tahu cara ngomongnya! Odit baru bilang baru bilang
satu kalimat, papa dan mama langsung nyerocos sampai berjam… jam Odit selalu di
sudutkan (Lubis,2004:114).
Ketidak
harmonisan juga dirasakan oleh keluarga Keke. Keluarganya berantakan lantaran
papa dan mamanya bercerai, perceraian itu terjadi karena adanya perempuan kedua
yang dimiliki papanya. Lebih-lebih lagi perempuan itu sebaya dengan Keke.
Terlihat dalam kutipan di bawah ini.
“Gua ini
sakit hati… papa dan mama bercerai… gara-gara papa berselingkuh… tahu enggak
pacar papa itu seumur gua… Gua benci, cemburu sama dia yang telah menyingkirkan
mama dari kehidupan papa yang semula adem ayem… (Lubis,2004:96).
C.
Feminisme
Dari novel Pecun Mahakam ini ada beberapa hal yang akan dibahas dari kajian
feminisme, diantaranya sebagai berikut.
1. Perempuan
Di Mata Laki-Laki
Ada beberapa anggapan yang menerangkan bahwa perempuan di mata laki-laki
adalah penurut dan mudah ditaklukan, menyenangkan hati dan objek seks,
merupakan objek kekerasan psikis dan fisik. Hal itu dijelaskan sebagai berikut.
a.
Penurut dan Mudah Ditaklukan
Seorang perempuan di mata laki-laki
adalah makhluk penurut dan mudah
ditaklukan. Sifat penurut itu timbul karena perempuan merasa dikuasai oleh kaum
laki-laki. Bisa jadi seandainya sifat penurut itu tidak ada akan terjadi
kekerasan kaum laki-laki terhadap perempuan. Sama halnya dengan tokoh Ody yang
menurut pada Joko “Bob” Dolog, GM-nya. Ody mengikuti perintah Joko Dolog karena
Ody berada di bawah kekuasaan Joko Dolog. Sifat penurut itu ditunjukkan pada
kutipan di bawah ini.
“Hei elo…udah jangan
lama-lama istirahotnya… tuh … udah disamperin brondong elo itu sudah hampir 3
jam nunggu di sono…” tunjuk Bob pada mobil Benno. Melody tersenyum riang tapi
juga surprise mendengar keterangan GM-nya yang satu ini.
Dengan sigap, Ody membenahi
rambut dan make upnya, cepat-cepat menyemprot wewangian kebalik telinganya……….
Dicoleknya pinggang Ody yang melangkah kearah mobil Benno (Lubis,2004:12-13).
Dari kutipan di atas
yang menerangkan sifat penurut adalah pada saat Ody dengan sigap membenahi
rambut dan make upnya, cepat-cepat menyemprot wewangian kebalik telinganya….
Dicoleknya pinggan Ody yang melangkah kearah mobil Benno. Langkah Ody menuruti
kemauan Bosnya untuk kembali bekerja melayani langganannya membuat urusannya
menjadi lancar, tidak timbul suatu kekerasan, seandainya pada novel PM, Ody tidak menuruti perintah Joko
Bob, mungkin saja Joko Bob bisa marah karena ia yang berkuasa di daerah itu.
Sifat
penurut perempuan kepada laki-laki itu
timbul karena adanya rasa percaya perempuan kepada laki-laki.
Dengan
gemas, dipeluknya tubuh Oditta, yang terlanjur rapat dengan tubuhnya. Dicarinya
bibir pacar cantiknya itu. Mereka beberapa saat bercumbu… Dammar sudah lebih
santai dan Oditta melempar topeng keluguannya… bahkan cewek cantik itu
membiarkan tangan nakal Damar menggerayangi bagian-bagian tubuh Ody
(Lubis,2004:162).
Dari kutipan di atas rasa percaya itu
timbul karena Damar adalah kekasih dari Oditta. Hubungan kekasih itu yang
menimbulkan Ody sebagai seorang perempuan memiliki rasa percaya pada kekasihnya
yang akan selalu menjaganya. Biarpun tubuh Ody digerayangi Damar Ody rela,
terlebih lagi dengan rasa percaya diri Ody melempar keluguannya.
Selain
tokoh Ody panggilan dari Oditta yang juga Melody, Trida juga memiliki sifat
penurut, yaitu sifat alam yang dimiliki oleh seorang perempuan. Dalam kutipan
di bawah ini menunjukkan sifat penurut Trida sebagai seorang perempuan.
Trida
membiarkan tubuhnya dipemainkan sesuka
hati oleh si Oom. Toh ia tak bisa menolak perlakuan itu…(Lubis,2004:47).
Sikap
pasrah Trida ini dilakukan karena ia tak dapat menolak, sudah ada transaksi
sebelumnya sebagai perjanjian kerja. Transaksi yang menjadikan Trida menurut
terlihat dalam kutipan berikut.
“Okay Sayang? Kita pergi yuk…”
ajak Trida saat melihat Bob dari kejauhan memberikan isyarat. “Beres… uang sudah
di tangan sekarang waktunya memberi pelayanan…” kira-kira begitulah arti body
language germonya itu (Lubis,2004:45).
Sifat
penurut Trida pada kutipan di atas karena adanya hubungan yang saling
menguntungkan. Trida menurut, membiarkan tubuhnya dipermainkan sesuka hati oleh
si Oom, dia tidak dapat menolak karena dari transaksi Bob dengan Oom itu, Trida
mendapatkan imbalan bayaran setelah melayani Oom tadi.
b.
Menyenangkan hati dan objek seks
Tidak
dipungkiri, sebagai seorang lelaki tak ada yang tidak kagum dengan perempuan.
Kekaguman itu timbul karena perempuan mampu menyenangkan hati sekaligus
menyenangkan objek seks. Terlihat dalam kutipan berikut.
Gadis
cantik primadona pecun Mahakam itu melambaikan tangan. Oom Melky, “Gadun” yang
selalu menghujaninya dengan hadiah-hadiah, tersenyum genit dan melemparkan
“ciuman udara” bagi gadis remaja yang baru saja membuatnya terbang ke langit ke
tujuh. Ia merasa perkasa banget! (Lubis,2004:11).
Dari
kutipan di atas, laki-laki merasa senang dengan perempuan bukan semata sifat
dasar laki-laki yang selalu suka dengan perempuan. Kesenangan itu karena adanya usaha dari
perempuan, yang merupakan hasil perjuangannya agar tetap di percaya oleh
laki-laki. Seperti yang dilakukan Melody, yang telah membuat Oom Melky merasa
perkasa banget. Sehingga Oom Melky rela memberikan apapun untuk mengganti rasa
puasnya itu dengan memberikan banyak hadiah kepada Melody.
c.
Objek Kekerasan
Objek
kekerasan ada dua, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikis
1)
Kekerasan Fisik
Ada beberapa tokoh yang mengalami kekerasan
fisik dalam novel PM. Bagi laki-laki kekerasan terhadap perempuan, itu adalah
hal yang wajar. Kekerasan fisik yang dimaksud adalah kekerasan terhadap anggota
badan. Bentuk kekerasan fisik itu terjadi pada Keke. Ia mendapat kekerasan fisik saat diperkosa oleh
kakak iparnya. Terlihat dalam kutipan berikut ini.
Keke
diserahkan kepada Danny setelah abang iparnya memperkosanya (Lubis,2004:96).
Selain Keke, yang mengalami kekerasan fisik adalah Seruni. Seruni
mendapat kekerasan fisik terbukti dari luka memar pada lehernya. Selain luka
memar juga kekerasan saat diperkosa pemilik toko di tempat Seruni bekerja. Hal
itu terlihat pada kutipan di bawah ini.
Seruni
menunjuk lehernya. Beberapa bekas pukulan sembab membiru, bertebaran di
parasnya yang masih begitu polos dan imut (Lubis,2004:136).
Bentuk
kekerasan yang terjadi pada Seruni dilakukan oleh laki-laki. Terlihat dalam
kutipan berikut.
“Punya
gua sakit… berdarah mungkin juga tambah robek lho Mbak… Kurang ajar banget
cowok-cowok itu. Kalau tidak ketemu Mbak
tadi malam, mungkin sampai sekarang gue belon nyampe rumah... thanks banget ya
Mbak Ody…”(Lubis,2004:137).
Kekerasan
yang dilakukan laki-laki karena ia merasa bahwa perempuan adalah makhluk yang
lemah, dari kutipan di atas kenyataan bahwa wanita terlihat lemah.
2)
Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah kekerasan yang
mengarah pada kekerasan batin seseorang, dalam hal ini adalah kekerasan
terhadap batin perempuan. Kekerasan psikis bisa muncul akibat dari kekerasan
fisik yang di dapat. Misalnya saja kasus perkosaan. Disamping kekerasan fisik
kasus perkosaan juga menyisakan kepedihan yang sangat mendalam bagi korban
karena keperawanannya telah terenggut. Sama halnya dengan Seruni. Ia
mendapatkan kekerasan psikis setelah di perkosa kemudian di usir oleh ibu yang
punya warung itu lantaran suaminya menfitnah Seruni dengan membuat cerita
bohong, kalau seruni mencuri sembako. Terlihat dalam kutipan di bawah ini.
“Boro-boro
dapet duit buat ongkos nyokap fisioterapi… gua malah diusir si ibu warung yang
nuding gue nyuri sembako di sana… suaminya yang gatel itu bikin cerita bohong…
sekali lagi ia mencolek pantat gua! …..setelah gua diperkosa” (Lubis,2004:137).
Dari kutipan di atas, betapa sakitnya batin
Seruni, ia bekerja mencari uang untuk ongkos ibunya fisioterapi yang
membutuhkan uang tidak sedikit. Tetapi apa yang di dapat, ia malah di usir
karena dituduh telah mencuri sembako setelah di perkosa. Itu merupakan
kekerasan batin yang dialami perempuan yang seharusnya mendapatkan bantuan.
2. Kekuatan
Perempuan
a.
Mampu memberikan pemahaman
Dari
beberapa kekuatan perempuan salah satunya adalah mampu memberikan pemahaman. Pemahaman
yang dimaksud adalah pemahaman terhadap laki-laki. Pemahaman itu diberikan
kepada kaum laki-laki karena perempuan
melihat adanya persimpangan jalur keputusan yang berseberangan, sehingga
keputusan yang diperoleh nanti berpihak kepada perempuan. Adapun cara
memberikan bentuk pemahaman itu salah satunya dengan sikap keterbukaan
perempuan akan keberadaannya, kekurangannya sebagai perempuan. Terlihat dalam
kutipan di bawah ini.
“Emang
bener nih, elo mau pacaran ame gua?...” pancing Oditta
“Swear
sayang… swear… sumpah mati…” jawab Damar sambil menempelkan bibirnya di bibir
Odit yang menantang birahinya.
“Elo
masih cinta ame gua kalau ternyata gua ini brengsek, amburadul… ngewe sana,
ngewe sini…” Oditta berusaha membuka tabir rahasiannya. Damar terkejut
mendengar pernyataan yang ceplas-ceplos itu (Lubis,2004:162).
Dari
kutipan di atas dengan memberikan pemahaman berupa keterbukaan tadi malah
membuat Damar kekasihnya terkejut bahkan tidak percaya. Sikap terkejut Damar
ini merupakan proses dalam mengambil keputusan yang spontan. Sehingga untuk
menyakinkan dirinya, Damar secara tidak langsung bertanya balik kepada Melody.
“Ngewe
sana… ngewe sini … emangnya elo perek… pecun?” Damar tertawa untuk membunuh
pikiran negatifnya (Lubis,2004:162).
Sikap Damar yang belum percaya ini akhirnya
mendapat jawaban dari Oditta dengan sikap percaya dirinya. terlihat dari
kutipan di bawah ini.
“Kalau
emang iya … gimana?” kali ini Oditta menatapnya dalam-dalam. Mobil Damar
berhenti di kegelapan malam (Lubis,2004:162).
Bentuk
pengakuan Oditta pada kutipan di atas, membuat Damar menghentikan mobilnya.
Dengan penuh harap-cemas Oditta pun menunggu jawaban dari Damar pada saat
Oditta menatap Damar yang begitu dalam. Dari proses pemahaman yang telah
terlihat di atas akhirnya Damar memberikan sebuah jawaban mengenai hubungan
mereka. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“What
ever may happens… who ever you are… I’m going to love you forever… “ ucap Damar
dengan kefasihannya yang luar biasa. Dengan gemas, dipeluknya tubuh Oditta yang
terlanjur rapat dengan tubuhnya (Lubis,2004:163).
Kekuatan yang dimiliki Oditta dalam
memberikan pemahaman ternyata mampu membuat Damar sebagai laki-laki memberikan
keputusan yang berpihak pada Oditta sebagai perempuan.
b.
Berani menolak dan mengutarakan pendapat
Perempuan
untuk memperjuangkan keperempuanannya di hadapan laki-laki harus berani menolak
dan mengutarakan pendapat. Namun sikap tersebut harus di dasari keberadaan
perempuan pada saat itu. Apakah ia berada di bawah ataukah di atas dalam arti
sebuah kedudukan. Bentuk penolakan
perempuan terhadap laki-laki ini dilakukan oleh Ody. Terlihat pada kutipan
berikut.
“Adu
sorry broer… gue kudu pulang sekarang… cukup Rocky saja! Besok gua ada ulangan…
gila… gila…” Ody bergegas memanggil taksi, dan membiarkan calon kliennya
terngaga bengong. Secepat itu pula Joko “Bob” Dolog sang “General Manager”
mendekati cowok yang bermuka kecut itu (Lubis,2004:64).
Meskipun Ody dalam status kedudukan berada
di bawah kekuasaan Joko “Bob” Dolog, Ody tetap berani menolak melayani kliennya
itu. Sebuah berani menolak ini tentunya ada alasan, yaitu besok Ody akan ada
ulangan di sekolahnya. Lebih dari itu karena Ody di kawasan itu telah mendapat
predikat sebagai Primadona Pecun Mahakam. Sehingga ia bisa menentukan apa yang
ia inginkan. Predikat Primadona terlihat dari kutipan berikut ini.
Siapa
yang tidak kenal Melody sang primadona…yang pinter membuat semua laki-laki
mabok kepayang setiap mencicipi selangkangannya… coba bilang (Lubis,2004:36).
c.
Dapat memutuskan masalah
Seorang
perempuan mampu memutuskan masalah yang sedang dihadapi. Sehingga dapat
menentukan kearah mana ia harus melangkah. Seperti dalam PM, Ody dapat
memutuskan bagaimana langkah terbaik dalam hidupnya. Ody berani memutuskan
untuk berhenti ngewe sebagai pekerja seks. terlihat dalam kutipan di bawah ini.
Oditta
tertunduk lama dan angkat bicara, “Gue udah memutuskan untuk tidak “ngantor”
lagi… sama seperti Tatat, gua juga jenuh dengan life style yang telah
menyesatkan hidup gua… gua pingin juga seperti Julia Roberts.. ketemu cowok
ganteng, kaya… baik, tidak peduli gua ini bekas picun.. menikah dengan gua…
punya anak… and so on… ang so on…” matanya menerawang jauh (Lubis,2004:170).
Keputusan
yang di ambil Oditta menunjukkan bahwa perempuan mampu mengambil keputusan
sebagai upaya untuk melangkah kedepan yang lebih baik. Ada harapan yang cerah
yang terlihat pada mata Ody. Selain harapan, alasan lain karena Ody merasa
telah jenuh dengan sepak terjangnya, life
style yang telah menyesatkan sebagai seorang pecun, keputusan itu di ambil
karena ia ingin seperti Julia Roberts tokoh dalam film yang bisa menikah,
mempunyai anak, sekalipun dirinya bekas pecun.
3. Eksistensi
Perempuan
Eksistensi sama artinya dengan keberadaan, jadi eksistensi perempuan
adalah keberadaan perempuan agar dirinya diakui oleh pihak laki-laki atau
sesama jenisnya. Eksistensi perempuan dapat terakui apabila ia telah mendapatkan
hak-haknya seperti yang dimiliki laki-laki atau bahkan lebih. Dari hasil
perjuangannya itu secara penuh mendapatkan hak-haknya yang antar lain sebagai
berikut.
a.
Hak memilih pasangan
Berbeda dengan cerita Siti Nurbaya yang tidak
memiliki hak memilih pasangan. Eksistensi perempuan dapat terakui bilamana ia
telah mendapat hak penuh untuk memilih pasangannya sendiri. Pada novel PM hak memilih terlihat pada saat Melody
menolak untuk berkencan dengan gadun. Seperti tampak pada kutipan di bawah ini.
“
aduh sory broer, gue kudu pulang sekarang. Cukup Rocky saja. Besok gua ada
ulangan … gila… gila” Ody bergegas memanggil taksi dan membiarkan calon
cliennya ternganga bengong (Lubis, 2004:64).
Sikap Ody menolak untuk melayani calon cliennya kerena memiliki beberapa
alasan. Pertama Ody pagi harinya harus mengikuti ulangan di sekolah. Alasan ini
yang digunakan sebagai alasan untuk menolak kliennya.
b.
Hak menentukan gaya hidup (Life Style)
Banyak
sekali cara pandang mengenai gaya hidup. Pada novel PM ini perempuan dapat
menentukan gaya hidup yang mereka sukai, tanpa ada campur tangan dari orang
lain. Terlihat pada tokoh Ody yang suka keluar malam untuk mendapatkan sebuah
kebebasan dan bergaya hidup mewah. Terlihat dalam kutipan berikut.
“Lha kok
pulang malem banget… sudah tahu ada ulangan … kapan belajarnya yang bener,
Dit?” cecar Bude, namun mencoba tidak menyinggung perasaannya (Lubis, 2004:27).
Nyonya
Lasmono menghela napas. Terkadang timbul kecurigaannya, dari mana Oditta
mendapatkan tambahan uang saku… karena ia bisa membeli barang-barang bagus.
Begitu konsumtif… begitu trendy … ya bajunya, sepatunya, tasnya… koleksi
wignya… (Lubis,2004:199).
Dari
kutipan di atas terlihat dari barang-barang kepunyaannya yang serba mewah, dia
dapat menentukan sendiri kemana ia harus melangkah, tanpa meminta pertimbangan
dari orang lain. Sekalipun orang-orang terdekatnya, keluarganya, lebih-lebih
orang tuanya mencurigai hal tersebut. Kecurigaan
itu diperlihatkan oleh ibunya, Nyonya Lasmono, dari mana Oditta mendapatkan
tambahan uang saku hingga ia dapat membeli barang barang mewah.
Gaya hidup yang diperlihatkan Melody yang lain
yaitu ia suka merokok. Diperlihatkan pada kutipan berikut ini.
Ody
berjalan menuju warung rokok, Ody mengepulkan asap rokoknya. “so good… so
good…” ia mencoba melagukan lirik lagu pop milik James Brown! (Lubis,2004:11-12).
Bagi sebagian orang beranggapan bahwa perempuan
merekok itu melampaui batas kodrat sebagai perempuan. Namun tanpa menghiraukan
orang lain Ody tetap saja merokok dengan enaknya.
c.
Hak memperoleh penghasilan lebih
Dari
hasil jerih usahanya perempuan mendapatkan hak yang sama bahkan lebih dari laki
laki. seperti Melody yang hanya memberikan selembar uang berwarna kemerahan
yang mengarah pada uang seratus ribu, sebagai GM-nya Joko Bob menerima saja
karena ia hanya sekedar mengatur jadwal saja. Padahal Ody waktu itu mendapat
uang lebih banyak dibandingkan yang diberikan pada GMnya itu. Terlihat pada
kutipan di bawah ini.
Melody
memberikan selembar uang berwarna kemerahan pada Joko Bob Dolog yang sengaja
padang badan, saat mobil itu mendekati “daerah kekuasannnya”. Dengan melenggak
lenggok, Ody berjalan menuju warung rokok (Lubis,2004:11).
Bandingkan dengan kutipan berikut yang
memperlihatkan uang Ody dari hasil melayani Om Melky tadi.
Apalagi
seperti Oom Melky tadi … dokunya man… apalagi hadiahnya… pokoknya asyik dan
seru…” Ody memamerkan segepok uang dari tasnya yang sedikit menganga
(Lubis,2004:12).
Perbandingan
uang yang diserahkan Ody kepada Joko Bob tidak seberapa jika dibandingkan
bayaran yang di terima dari Oom Melky. Disini memperlihatkan bahwa ia telah
mendapat hak-haknya lebih daripada Joko Bob, GMnya.
d.
Hak mendapatkan jaminan kesehatan
Hak
mendapat kesehatan itu sangat penting karena menentukan kehidupan selanjutnya. Ody
yang terlambat bulan merasa khawatir, ada tanda tanya dalam dirinya. Apakah ini
tanda-tanda kehamilan atau sekedar masalah hormon saja. Akhirnya Budenya
mengantarkan ke lab untuk di periksa. Terlihat dalam kutipan di bawah ini.
“Okey…
aku akan antar kamu ke lab… mudah mudahan hanya masalah hormon… kowe ra bakal
meteng… kowe isih cilik (Lubis,2004:169).
Bentuk
jaminan kesehatan itu terlihat pada saat Budenya akan mengantarkan ke
laboraturium agar di periksa. Akhirnya dari hasil lab itu Ody tahu bahwa dia
tidak hamil setelah ia membaca hasil tes kehamilan. Terlihat dalam kutipan
berikut.
Ia
lantas menbacanya satu per satu, “Oh yang ini hasil tes kehamilan… ternyata gua
kagak hamil… Bude lega sekali (Lubis,2004:171).
Karena telah mendapatkan
hak-haknya sebagai perempuan dari hasil perjuangaanya maka eksistensi perempuan
itu dapat dikatakan terakui.
BAB IV
PENUTUP
- Simpulan
Feminisme adalah suatu perjuangan
kaum perempuan untuk diakui eksistensinya. Dengan berbagai usaha, inisiatif,
dan kreativitas sebagai bekal melangkah, kaum perempuan dapat menunjukkan bahwa
ia mampu berdiri dan melangkah tanpa ada belas kasihan dari orang lain, apalagi
dari kaum adam.
Dalam novel Pecun Mahakam karya Yatie Asfan Lubis terdapat aksi feminisme yang
ditunjukkan dengan tiga kriteria analisis. Pertama, adanya pandangan dari kaum
laki-laki terhadap perempuan yang di dalamnya terlalu menyudutkan perempuan. Seperti
Melody yang menurut pada Joko Bob Dolog GM-nya agar tidak ada perlawanan dengan
Joko Bob Dolog. Kedua, adanya kekuatan perempuan sebagai landasan perjuangan
kaum perempuan untuk memperjuangkan eksistenisnya agar diakui oleh kaum adam
atau sesama jenisnya. Di antarannya Melody yang berani memutuskan tidak ngantor
di kawasan Mahakam serta akan memutuskan menolak melayani kliennya. Ketiga
terpenuhinya hak-haknya sama seperti kaum adam bahkan lebih yang didapat dari
hasil perjuangannya.
Keberhasilan aksi feminisme pada novel PM
dilihat dari kaum perempuan yang dapat mendapatkan hak-haknya sama seperti
laki-laki. Hak-hak itu antara lain hak memilih pasangan, hak menentukan gaya
hidup, hak memperoleh penghasilan lebih, dan hak mendapatkan jaminan kesehatan
- Saran
Tidak ada karya sastra yang sempurna bila karya
sastra itu telah di baca bahkan telah dianalisis oleh banyak orang. Dengan
adanya penelitian seyogyanya karya sastra yang bermunculan menjadi lebih
bernilai.
Seperti novel Pecun Mahakam Karya Yatie Asfan Lubis. Meskipun dalam penyajiannya
ringan tetapi dalam bentuk kandungan memiliki makna yang perlu di gali lebih
dalam.
Timbulnya satu kebebasan untuk mententukan
langkah hidup bukan karena keadaan yang meminta. Semua terjadi karena lalainya
setiap individu dengan individu lain. Kelalaian itu disebabkan karena setiap
individu merasa bahwa garapan hidupnya paling penting sehingga melalaikan
individu disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Bersperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Baboroh, Umul. 2002. Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha
dalam Sukri, Sri Suhandjati. (ed). Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta:
Gama Media.
Budianta, Melani. 2002. Pendekatan Feminis terhadap Wacana: Sebuah
Pengantar dalam Budiman, Kris (ed). Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai
Dekonsentruksi. Yogyakarta: Kanal.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kridalaksana, Harimurti,
dkk.1999. Kamus Besar Bahsa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Lubis, Yatie Asfan.
2004. Pecun Mahakam. Yogyakarta: Media Presindo
Megawangi, Ratna. 1999.
Membiaarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru
Tentang Relasi Jender. Jakarta: Mizan.
Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra, Semarang :
Fasindo.
2007, Pengantar
Pengkajian Sastra, Semarang : Fasindo
Nurgiyantoro. Burhan.
1995. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gama Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.
1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Ridjal, Fauzie dkk. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia,
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yoga
Sofia, Adip. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis, Perempuan
dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Sudjiman, Panuti. 1988.
Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gama Press.
Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
SINOPSIS
Melody
gadis yang cantik berasal dari keluarga mampu. Mempunyai orang tua yang serba
sibuk mengurusi pekerjaannya serta mamanya yang aktif dalam kegiatan sosial.
Melody
nama samaran dari Oditta, gadis SMU Swasta di Jakarta Selatan. Selain belajar,
ia juga memiliki profesi sebagai seorang pecun (perek culun), sama halnya
dengan temannya, Trida dan Seruni. Di kawasan Jalan Mahakam Melody dan teman
seprofesinya ngantor. Dia mempunyai brondong bernama Benno, mahasiswa Tri Sakti
dan juga memiliki pacar, Damar namanya. Damar satu sekolahan dengan Oditta.
Gadis
yang sering disapa Odit melakoni profesinya sebagai pecun merupakan bentuk
kebebasan yang diinginkannya. Dia ingin hidup serba mewah seperti halnya Trida,
Seruni, dan Keke. Mereka tak mau dipanggil pelacur, entah apa sebabnya. Yang
jelas budaya konsuftiflah yang menjerat mereka hingga masuk dalam kekuasaan
Joko Bob Dolog, GM para pecun kawasan Mahakam.
Keluarganya
belum ada yang mengetahui sepak terjang Oditta, hingga suatu ketika Oditta
memutuskan untuk berhenti ngantor.
Pada
saat Damar mengantar kekasihnya, Oditta, ia terkejut karena Oditta membuat
pengkuan bahwa dia seorang pecun yang ngewe sana-sini. Damar yang telah
terlanjur jatuh hati menerima apa adanya seorang Oditta.
TENTANG PENGARANG
Yatie
Asfan Lubis, wanita berdarah minang berusia 64 tahun, pada tahun 1968 menikah
dengan Asfan Lubis, seorang Perwira Zeni Angkatan Darat. Ibu dari Refine,
Verena dan Rofano, mertua dari Yakob Ahmad. Ia menempatkan kegiatan menulis
dalam urutan kedua setelah tugas murninya, membahagiakan suami, anak, menantu
dan cucunya.
Mematuhi
perintah ayahnya untuk mempelajari hukum dan kuliah di Universitas Airlangga
dan Brawijaya. Tetapi ia tetap menekuni minat dan hobi menulisnya.
Tulisan-tulisannya berbentuk cerpen bermunculan saat ia masih duduk di bangku
SMA dan Perguruan Tinggi.
Karirnya
berawal sebagai wartawan di majalah Femina. Selama 15 tahun, tugas-tugas
jurnalistik banyak membawanya ke penjuru tanah air dan manca-negara, memperkaya
pelangi imaji-imajinya dalam bentuk tulisan-tulisan yang kian beragam.
Dari
cetak, ia menggeluti dunia broadcasting. Bersama Helmy Yahya, Kepra, Tantowi
Yahya, Kushendratmo, membantu Ani Sumadi memproduksi acara-acara yang
ditayangkan di beberapa stasiun televisi.
Terpikat
pada dunia radio, ia menjadi penyiar di radio Top FM selama 2 tahun.
Memantapkan diri sebagai penyiar di acara prime time sore hari, ia bertanggung
jawab atas acara, “Delta Afternoon Show”. Setiap sore (1995-2000) suara
Yatie menghibur para pendengar radio 99,5
Delta FM.