Welcome to Indonesia_Various Cultures in Indonesia_Come and Prove!!!!!!

Translate

Profesionalisme bukan Konsesi


Dalam konteks gerakan perempuan, profesionalisme sama sekali bukan barang baru, namun jika di sini ditekankan maka yang diharapkan adalah hilangnya warna ideologis dari gerakan perempuan. Sebagai contoh, pendidikan yang diberikan  pada perempuan pada akhirnya akan memberikan kekuatan yang secara kongkret mengubah perimbangan hubungan yang tidak adil antara lelaki dan perempuan. Ketika sedikit banyak lelaki tergeser, maka yang terjadi adalah pergantian pihak yang tidak mampu oleh yang mampu. Perubahan ini lebih dapat diterima karena alasan rasional; yakni tidak terjadi atas dasar asumsi ideologis, tetapi atas dasar pertimbangan daya guna yang lebih besar. Dengan kata lain, atas dasar pertimbangan professional, dan konsensi politik.
Perbedaan antara kedua pendekatan di atas terutama berguna dalam dua aspek, yaitu tidak mencurigakan serta berdampak positif. Suatu gerakan perempuan dapat “ mencurigakan” apabila yang ditonjolkan adalah ke-perempuan-annya. Hal ini terjadi misalnya, jika gerakan tersebut “dituduh” sebagai gerakan feminis. Sesungguhnya, baik dituduh maupun benar-benar gerakan feminis sama sekali tidak menjadi soal bagi mereka yang sudah enlightened, namun hal itu akan menyulitkan bila berhadapan dengan mereka secara ideologis mesih bersikap konservatif. Dengan begitu, yang akan terjadi adalah persaingan ideologis, antara mereka yang ingin membebaskan perempuan karena mereka perempuan, melawan mereka yang ingin mempertahankan posisi perempuan karena mereka perempuan. Persaingan menjadi ideology karena dipersoalkan adalah ke-perempuan-an, bukan kemampuan perempuan.
Suatu perjuangan yang berangkat dari sikap ideologis barang tentu dapat juga dibenarkan, dan berbagai contoh dapat pula menunjukkan hasilnya. Dalam hal perempuan di Indonesia, gerakan mereka masih sangat diwarnai sikap ideologis dan dihadapi oleh pihak luar, yakni lelaki, dengan sikap yang sama. Dalam konteks itulah bahwa kemajuan kaum perempuan di Indonesia masih bersifat konsensional atau ideologis. Dengan kata lain, perempuan masih banyak diberi karena pertimbangan politik dan ideology, bukan karena kemampuan mereka. Konsesi pada akhirnya akan mengecewakan, karena tidak mengubah posisi ketergantungan perempuan pada lelaki.
Untuk suatu zaman di mana rasionalitas dan profesionalisme individu semakin dihargai, perbedaan antara lelaki dan perempuan tidak lagi relevan, kecuali kalau perimplikasi pada profesi. Contohnya adalah dalam cabang-cabang olah raga di mana perempuan tidak seimbang dihadapkan dengan lelaki. Namun untuk bidang-bidang kesenian seperti menyayi dan film, tidak perlu lagi perbedaan hadiah untuk perempuan dan lelaki. Akhirnya perbedaan berdasarkan profesionalisme ini akan mempunyai dampak positif bagi masyarakat pada umumnya, karena mendorong orang untuk memperbaiki kemampuan mereka

Kedudukan Bahasa Indonesia

          Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan Republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga sumpah pemuda 1928 yang berbunyi   “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.” dan pada Undang-undang Dasar kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.”

Bahasa Indonesia juga disebut bahasa ibu, mengapa?
1. Berdasarkan jumlah penuturnya
2. Luas penyebarannya
3. Peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai.

          Bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudan dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau penilaian yang teratur, logis, dan masuk akal.

Fungsi Bahasa Baku
          Bahasa baku mendukung 4 fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, sedangkan yang satu bersifat objektif. 1) fungsi pemersatu, 2) fungsi pemberi kekhasan, 3) fungsi pemberi kewibawaan, dan 4) fungsi sebagai kerangka acuan.
          Bahasa baku menghubungkan semua penutur  berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu.
          Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan.
          Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise, fungsi membawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri.
          Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata, iklan, dan tajuk berita.
          Ejaan atau tata cara menulis, bahasa Indonesia dengan huruf latin untuk ketiga kalinya dibakukan secara resmi pada tahun 1972, setelah berlakunya dan dikeluarkannya ejaan  Van Ophuijsen (1901), dan ejaan Soewandi (1947). Pada tahun 1975 dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan yang menguraikan kaidah ejaan yang baku itu secara terinci dan lengkap. 

Untuk mencari contoh ragam bahasa baku dapat di cari pada berbagai Kamus Besar Bahasa Indonesia.